Processing math: 100%
-->

MAKALAH AGAMA DAN MASYARAKAT DALAM PESANTREN MODERN

- 11.38
                                                                                                                                                                               1                                                                                                                              


Dosen Pengampu : Sukati, S.Pd.I., M.Pd.


Disusun Sebagai TUGAS MATA KULIAH SOSIO ANTROPOLOGI
Tahun Akademik 2019/2020





Disusun Oleh:


Puji Devi Aryanti
191400034
Asrifatun Agustini
161400002








PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ALMA ATA
YOGYAKARTA
2019

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga tersusunlah makalah ini dengan judul Agama dan Masyarakat dalam Pesantren Modern.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam tentang Agama dan Masyarakat dalam Pesantren Modern. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang berbagai hal tentang Agama dan Masyarakat dalam Pesantren Modern.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.




Yogyakarta, 29 September 2019



Penulis





                                          
                                          

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam struktur pendidikan nasional, pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting. Hal ini tidak hanya karena sejarah kemunculannya yang sangat lama, tetapi karena pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Pondok pesantren pada dasarnya memiliki fungsi meningkatkan kecerdasan bangsa, baik ilmu pengetahuan, keterampilan maupun moral. Namun fungsi kontrol moral dan pengetahuan agamalah yang selama ini melekat dengan sistem pendidikan pondok pesantren. Fungsi ini juga telah mengantarkan pondok pesantren menjadi institusi penting yang dilirik oleh semua kalangan masyarakat dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan derasnya arus informasi di era globalisasi. Apalagi, kemajuan pengetahuan pada masyarakat modern berdampak besar terhadap pergeseran nilai-nilai agama, budaya dan moral.
Pada awalnya, pondok pesantren memiliki pola pengajaran terbuka di mana kiai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan kitab yang diajarkan sementara para santri menyimaknya. Kitab yang diajarkan kiai sekaligus merupakan pengklasifikasian jenjang pendidikan para santri. Dalam hal ini, pondok pesantren masih menerapkan semi penjenjangan. Keunikan sistem pembelajaran di era ini terletak pada
sistem evaluasi kelulusan yang digunakan. Penentuan kelulusan santri, pada dasarnya ditentukan oleh penguasaan santri terhadap ilmu yang dimiliki oleh kiainya. Ukuran terpenting adalah ketundukan pada sang kiai dan kemampuan memperoleh ilmu dari sang kiai. Oleh karena itu, jangka waktu belajar di pesantren masing-masing santri bisa berbeda. Biasanya sang kiai memberikan isyarat kepada santri yang sudah dianggap menguasai ilmu yang dimilikinya. Santri yang sudah mendapatkan isyarat tersebut dianggap sudah tamat belajar di pesantren dan dinilai cukup bekal untuk kembali ke kampung halamannya dan membangun masyarakat. Model evaluasi ini terjadi pada masa awal perkembangan pesantren sebagaimana dicontohkan oleh Syaikhona Khalil Bangkalan kepada salah satu muridnya yang bernama Bahar.
Isyarat cukup ilmu yang disampaikan oleh Syaikhona Khalil kepada santrinya, yang bernama Bahar, merupakan pertanda tamatnya seorang santri dalam menuntut ilmu di suatu pondok pesantren. Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa penentuan "lulus" atau "tidak lulusnya” santri merupakan hak prerogatif kiai.
Pada perkembangan, beberapa pondok pesantren mulai berinovasi dengan menciptakan sistem kelas dan pembakuan kurikulum. Biasanya, sistem kelas di pesantren dilakukan dengan penjenjangan madrasah Diniyah, ûlâ dan wusthâ, dan masing-masing jenjang ini dibagi ke dalam beberapa kelas. Yang perlu dicatat bahwa antar pesantren terdapat sistem kelas yang berbeda, begitu juga materi pelajaran dan jenjang pendidikannya. Walaupun sistem kelas dan penjenjangan berkembang di pesantren, namun ia tidak menghilangkan pola pengajaran terbuka yang sejak lama menjadi ciri khas pengajaran ala pesantren. Pada periode kelas dan penjenjangan ini, model evaluasi kelulusan mengalami perubahan. Seorang santri dinyatakan lulus setelah menyelesaikan studi pada jenjang tertentu di madrasah Diniyah dengan tetap mempertimbangkan penguasaan santri terhadap ilmu yang dimiliki kiainya. Namun, pada perkembangan, kelulusan santri hanya ditentukan oleh kelulusan di madrasah Diniyah.
Madrasah Diniyah yang dikelola secara klasikal dan berjenjang tidak menyurutkan terjadinya perubahan di pesantren. Minat masyarakat terhadap pendidikan formal mempengaruhi
perkembangan sistem pendidikan di pesantren. Untuk mengakomodasi minat tersebut, sebagian pesantren mulai mendirikan sekolah formal dengan lisensi pemerintah. Sejak berdirinya sekolah formal inilah, sistem kepemimpinan dan pengelolaan pembelajaran mengalami banyak perubahan. Pada masa ini beberapa pondok pesantren tidak lagi dipimpin secara individual oleh kiai tapi dipimpin secara kolektif dengan payung hukum yayasan. Para santri tidak hanya mempelajari ilmu agama tetapi mereka juga diajarkan ilmu umum seperti Bahasa Inggris, matematika, IPA dan lain sebagainya
Sistem pengajaran terbuka, klasikal, penjenjangan, berdirinya sekolah formal, dan masuknya beberapa mata pelajaran umum merupakan perubahan yang cukup radikal yang terjadi di pondok pesantren. Ternyata, adanya perubahan ini mampu menjaga eksistensi dan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren. Akan tetapi, pesantren kini memasuki babak baru sejarah kehidupan manusia, yaitu era globalisasi. Globalisasi merupakan proses perubahan yang sangat cepat dan radikal karena adanya media informasi. Transformasi informasi melalui berbagai jenis media, seperti hand phone HP dan internet, yang bergerak begitu cepat menawarkan berbagai macam pilihan yang menguntungkan tetapi juga bisa membahayakan. Di satu sisi, media informasi dapat menyuguhkan informasi-informasi penting seperti buku gratis, artikel, berita mancanegara, dan sebagainya. Akan tetapi di sisi lain, ia juga menyediakan informasi yang membahayakan seperti situs porno yang dapat diakses oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Era globalisasi juga menghadirkan wajah baru dalam interaksi sosial masyarakat modern. Di era ini terjadi kompetisi yang sangat ketat, baik secara individu maupun kelompok. Karena kompetisi tidak hanya terjadi antara kelompok yang sama-sama kuat, tetapi juga antara yang kuat dan yang lemah. Pergerakan informasi yang cepat dan kompetisi yang ketat ini menjadi tantangan tersendiri bagi pesantren. Pesantren sebagai institusi pencetak pemimpin masa depan dan pusat pemberdayaan masyarakat harus mampu mencetak generasi yang memiliki sumber daya yang mapan yang dapat bersaing ketat dalam pentas global. Oleh karena itu, pesantren harus dapat menghadapi era globalisasi yang pada awalnya merupakan tantangan dan rintangan menjadi peluang emas bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Tentunya, pesantren harus berproses dan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat global dengan tidak meninggalkan tradisi lama yang masih dianggap baik.
Agama merupakan ciri kehidupan sosial manusia yang Universal, dan semua masyarakat mempunyai cara berpikir dan pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut Agama. Banyak agama yang termasuk dalam superstruktur, yaitu agama terdiri atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik tempat makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, sebagian agama juga tergolong dalam struktur sosial. Salah satunya adalah adanya Pondok Pesantren.
Pondok Pesantren merupakan sistem pendidikan khas yang mempunyai tujuan untuk membentuk seorang Mukmin Muslim yang senantiasa taat dalam melaksanakan perintah agama serta menguasai ilmu tentang tata cara dalam melaksanakan perintah agama tersebut. Hal ini adalah sebagai perwujudan dalam upaya menyempurnakan fitrah manusia sebagai hamba Allah SWT di bumi-Nya. Pondok Pesantren juga berusaha untuk mencetak para peserta didiknya menjadi insan yang mandiri, yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat dan kelompoknya, dimanapun dia berada, dan disektor apa pun dia berkarya dan bekerja. Missi lain Pondok Pesantren adalah membentuk manusia yang mampu berbuat kebajikan untuk tujuan amar makruf dan nahi munkar.

<![if !supportLists]>1.      <![endif]>Apa Definisi Agama menurut Antropolog?
<![if !supportLists]>2.      <![endif]>Bagaimana sejarah Pondok Pesantren?
<![if !supportLists]>3.      <![endif]>Apa Peran Pondok Pesantren bagi Masyarakat
<![if !supportLists]>4.      <![endif]>Apa itu pesantren Modern


 Para Antropolog menghadapi banyak kesulitan dalam merumuskan agama dengan tepat. Masalah pokok dalam mencapai suatu definisi yang baik terletak pada penentuan batas-batas gejala tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Ronald Robertson 1970, ada dua jenis utama definisi tentang agama yang telah diusulkan oleh antropolog, mencakup definisi inklusif dan definisi eksklusif. Definisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan pada “penderitaan manusia yang abadi.”
Mereka yang menyukai pandangan ini pada umumnya melihat agama bukan saja sebagai sistem teistik, yang diorganisasi sekitar konsep tentang kekuasaan konsep supranatural, tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik, seperti komunisme, nasionalisme, dan humanisme. Sebaliknya definisi eksklusif membatasi agama pada sistem-sistem kepercayaan yang memostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supranatural. Sistem-sistem kepercayaan seperti komunisme, atau humanisme, karena tidak mencakup dunia supranatural, secara otomatis dikeluarkan, meskipun mungkin diterima bahwa sistem kepercayaan nonteistik demikian mempunyai elemen yang sama dengan sistem keagamaan. Berikut contoh-contoh yang baik mengenai agama yang inklusif.
<![if !supportLists]>1.      <![endif]>Agama ialah sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik-praktik yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yaitu hal-hal yang dibolehkan dan dilarang. Durkheim,1965:62
<![if !supportLists]>2.      <![endif]>Agama merupakan seperangkat bentuk dan tindakan simbolis yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksistensinya. Bellah,1964:359
<![if !supportLists]>3.      <![endif]>Agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia. Yinger,1970:7
Definisi pertama sangat terkenal dan sering dikutip oleh banyak sosiolog. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting bahwa agama diorientasikan pada yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci/sakti., yaitu objek referensi, yang dihargai dan malah dahsyat. Definisi kedua dan ketiga menekankan bahwa agama itu, di atas segala-galanya, diorientasikan pada “penderitaan akhir’ ultimateconcems umat manusia.
Semua definisi Inklusif itu memungkinkan bahwa apa saja dapat disebut agama, sepanjang agama itu mengidentifikasi keprihatinan yang disucikan atau berkaitan dengan pertanyaan tentang makna akhir.
Definisi Eksklusif tentang agama, banyak orang menghendaki pembatasan seperti itu. Ronald Robertson menekankan pentingnya definisi eksklusif dan percaya bahwa agama “ialah seperangkat kepercayaan dan simbol dan bertalian dengan perbedaan antara suatu realitas transenden yang empiris dan yang supermpiris; masalah-masalah empiris dimaksudkan artinya terhadap non empiris” 1966:47. Demikian pula dengan, Anthony Wallace merumuskan agama sebagai “jenis perilaku yang dapat digolongkan sebagai kepercayaan dan ritual yang bersangkutan dengan makhluk, kekuasaan, dan kekuatan supernatural” 1966:5. Di dalam definisi ini ada dua elemen pokok:
<![if !supportLists]>1.      <![endif]>Agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktik maupun seperangkat kepercayaan.
<![if !supportLists]>2.      <![endif]>Kepercayaan-kepercayaan yang bersangkutan dipandang benar hanya berdasarkan keyakinan, sehingga tidak ada keinginan untuk memvandasikannya dalam arti empiris. Karena itu, kepercayaan agama terletak di luar kesahihan ilmiah.
Banyak ahli telah menarik perbedaan yang tajam antara agama dan magis ilmugaib. Pembeda yang biasa dilakukan ialah bahwa agama didasarkan pada “permohonan” sementara ilmu gaib didasarkan pada “manipulasi”, yaitu dalam agama manusia berusaha untuk memohon atau meminta sesuatu dari kekuasaan supernatural, yang bebas menolak permintaan itu, sedangkan dalam ilmu gaib, manusia berusaha untuk memaksa kekuatan supernatural untuk melayani maksudnya. Malefijt,1968 .

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang Kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah Kyai. Pada zaman dahulu Kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah Kyai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya mempopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.
Sistem pendidikan di pesantren bermula jauh sebelum kedatangan Islam di bumi pertiwi. Pendirian pesantren bermula dari pengakuan suatu masyarakat tertentu kepada keunggulan seseorang yang dianggap ’alim atau memiliki ilmu yang mendalam. Karena banyak orang yang ingin memperoleh dan mempelajari ilmu, maka mereka berdatangan kepada tokoh tersebut untuk menimba pengetahuan. Tingkat ketokohan ditentukan oleh agama, ketakwaan, dan kesalehannya dalam menyikapi persoalan dan bergaul di tengah masyarakat.
Bukti bahwa sistem pendidikan pesantren ada sejak sebelum kedatangan Islam adalah adanya beberapa istilah yang digunakan di lingkungan pesantren. Pikiran masyarakat Indonesia pada umumnya menghormati, mengutamakan, serta mendahulukan orang tua, dan karena pada umumnya “orang berilmu” itu sudah berumur, maka mereka mendapat julukan ”kiai” dan khususnya di Jawa Barat disebut “ajengan” yang berarti pemuka. Murid-murid dari kiai itu disebut “santri”. Istilah ini sudah ada sebelum kedatangan Islam. Oleh karena itu, tempat berkumpulnya para santri disebut pesantren.
Kedatangan para pedagang yang berasal dari Gujarat untuk kepentingan penyebaran agama Islam memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan pesantren di Indonesia. Pada waktu itu pola pemerintahan menganut sistem monarki dengan bentuk kerajaan baik pusat maupun daerah. Kerajaan pusat terletak di pedalaman sedangkan sebagian kerajaan bawahan berdiri di pesisir pantai. Letak geografis ini menguntungkan kerajaan cabang karena kerajaan ini lebih cepat berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang baik ke tanah Jawa maupun Sumatera.
Kedatangan bangsa Gujarat dengan budaya asing dan budaya baru disambut dengan tangan terbuka oleh penduduk pribumi dan kerajaan. Motivasi politiknya agar pendatang asing dapat menjadi kekuatan baru yang bisa mendukung kerajaan bawahan untuk melepaskan diri dari cengkeraman kerajaan inti yang berpusat di pedalaman. Kedatangan para pedagang dari Gujarat juga punya kepentingan terhadap sikap kooperatif kerajaan dalam menyampaikan dan menyebarkan risalah Islam. Jadi kepentingan kerajaan bawahan yang berpusat di pesisir pantai bertemu dengan kepentingan bangsa asing. Faktor politis ini berhasil membuat kerajaan-kerajaan kuat Hindu seperti Majapahit tumbang dengan diikuti lahirnya kerajaan-kerajaan Islam besar seperti Kerajaan Demak yang memiliki kontribusi besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Berikutnya beberapa kerajaan Islam yang menguatkan penyebaran Islam di Nusantara lahir yang tentunya diikuti oleh terciptanya sistem pendidikan yang merupakan sarana pengembangan Islam. Lembaga pendidikan tidak hanya merupakan strategi dalam penyebaran dan pengembangan Islam tetapi juga merupakan kebutuhan umat Islam. Sistem pendidikan pesantren yang memang sudah menjamur di tengah masyarakat Indonesia menjadi pilihan para tokoh dan pemuka agama Islam untuk terus dipertahankan dan digunakan, hanya saja mengganti materi ajarnya dengan ajaran Islam.
Secara umum, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berkonsentrasi terhadap pendidikan agama dengan pembelajaran kitab kuning dengan tujuan penguatan pengetahuan agama dan pembinaan moral umat. Kitab kuning adalah buku bacaan dengan berbagai macam bidang seperti hukum, moral, pendidikan, pemerintahan dan lain-lain. Kertas kitab ini berwarna kuning dan tanpa harkat. Inilah alasan mengapa kitab yang diajarkan di pondok pesantren disebut kitab kuning. Penanggung jawab lembaga ini disebut kiai, pengajarnya disebut ustaz, sedangkan siswa disebut santri.
Menurut para ahli, pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu ada 1 kiai, 2 pondok pesantren, 3 masjid, 4 santri, dan 5 pembelajaran kitab kuning. Syarat yang ketiga, masjid, tidak sekadar sebagai tempat ibadah tetapi sebagai mediator transfer ilmu dari kiai kepada santrinya. Masjid juga berfungsi sebagai pusat kegiatan santri seperti muhâdlarah ceramah, bahts al-masâ'il membahaspersoalan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, suatu lembaga pendidikan Islam tetap dapat disebut pesantren walaupun tidak terdapat masjid selama masih ada gedung yang berfungsi tempat ibadah dan pusat kegiatan, seperti mushola. Dari segi latar belakang historisnya, pondok pesantren tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat di mana terdapat implikasi-implikasi politis dan kultural yang menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah.



Sejalan dengan perkembangan zaman, pesantren mengalami perubahan. Sebagian pesantren tetap mempertahankan pola dan gaya pendidikan pesantren salaf, tetapi sebagian yang lain bersikap kooperatif terhadap perubahan. Untuk itu, ada dua macam pondok pesantren dari sudut pandang ilmu pengetahuan yang diajarkan, yaitu 1 salaf, dan 2 khalaf. Pesantren salaf adalah pesantren yang masih menganut sistem lama dan menekankan pada pengajaran kitab kuning, sedangkan pesantren khalaf adalah pesantren modern yang sudah kooperatif terhadap perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pondok pesantren, baik salaf maupun khalaf, memiliki fungsi yang sama, yaitu fungsi dakwah Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Fungsi pondok pesantren sebagai lembaga dakwah Islam dapat tercapai dengan sukses apabila ia dapat memainkan perannya dengan baik. Peran pesantren dapat dipetakan menjadi 2 hal, yaitu: internal dan eksternal. Peran internal adalah mengelola pesantren ke dalam yang berupa pembelajaran ilmu agama kepada para santri. Sedangkan peran eksternal adalah berinteraksi dengan masyarakat termasuk pemberdayaan dan pengembangannya.
Kebanyakan pesantren mutakhir hanya berperan pada sudut internalnya saja, yaitu pembelajaran bagi para santri, dan meninggalkan peran eksternalnya sebagai media pemberdayaan masyarakat. Sehingga pengaruh pesantren mulai menipis dan tidak sekuat sebelumnya. Kekuatan akar pesantren di tengah masyarakat karena perannya yang memilih lebih dekat dengan wong cilik dan ikut serta dalam memecahkan segala persoalan yang dihadapinya. Sehingga segala persoalan yang berkembang di tengah masyarakat dapat diselesaikan oleh pesantren, baik pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Kalau pesantren meninggalkan jauh perannya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, maka eksistensi dan popularitasnya akan menurun dan melemah. Di samping peran eksternal pesantren menjadi penguat eksistensinya di tengah masyarakat, kebutuhan masyarakat juga merupakan tanggung jawab pesantren sebagai lembaga agama yang mengikuti pola kepemimpinan Rasulullah SAW.
Secara politik, Nabi Muhammad SAW membangun kepemimpinan berdasarkan prinsip keadilan, toleransi, egalitarianisme, kebersamaan dan persatuan.  Berdasarkan prinsip keadilan Nabi Muhammad SAW, pesantren seharusnya peka terhadap ketimpangan yang berkembang di tengah masyarakat. Dengan prinsip toleransi, pelaku pesantren sering kali berpikir moderat dan mudah menerima perbedaan pendapat, keyakinan, bahkan agama. Prinsip egalitarianisme dan kebersamaan membuat pesantren duduk sejajar dengan masyarakat sehingga terjalin komunikasi dan hubungan yang akrab. Dengan prinsip persatuan, pesantren dapat menjadi proteksi bagi berkembangnya disintegrasi bangsa.
Fungsi dan peran pesantren juga dapat diukur dari bahan ajar yang disuguhkan kepada para santri. Karena bahan ajar merupakan bagian kurikulum yang dapat membentuk mindset dan kiprah santri di tengah masyarakat kelak. Menurut KH. Ali Ma'shum, setidaknya setiap pesantren membekali para santri dengan 6 pengetahuan, yaitu: ilmu syariah, ilmu empiris, ilmu yang membuat kemampuan berpikir kritis dan berwawasan luas, ilmu pembinaan budi pekerti, latihan keterampilan kemasyarakatan, dan penggemblengan mental dan karakternya. Melihat pemetaan materi ajar dan keterampilan yang diajarkan kepada para santri menunjukkan bahwa pesantren memainkan peran sebagai institusi agama dan moral.
Menurut Mastuhu, sebagaimana dikutip Oepen, ada 10 prinsip pendidikan yang berlaku pesantren. Kesepuluh prinsip itu menggambarkan ciri utama tujuan pendidikan pesantren, antara lain: memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam, memiliki kebebasan yang terpimpin, artinya kebebasan yang terbatas, berkemampuan mengatur diri sendiri, memiliki kebersamaan yang tinggi, menghormati orang tua dan guru, cinta kepada ilmu, mandiri, dan kesederhanaan. Sepuluh prinsip di atas menjadi indikator bahwa pendidikan pesantren sangat memperhatikan pembinaan moral. Sehingga pondok pesantren sebagai fungsi kontrol moral sangatlah efektif dan efisien.
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan generasi muda yang menggabungkan etika, moral dan agama, sehingga berperan dalam mencetak generasi muda yang berakhlak mulia.
Peran sosial adalah peran yang dimainkan seseorang dalam lingkungan sosialnya. Peran ini adalah merupakan tuntutan dari masyarakat terhadap individu untuk memberikan sumbangan sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan dalam masyarakat tersebut. Peran sosial bisa berupa aktivitas individu dalam masyarakat dengan cara mengambil bagian dalam kegiatan yang ada di masyarakat dalam berbagai sektor, baik sosial, politik, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Pengambilan peran ini tergantung pada tuntutan masyarakat dan atau pada kemampuan individu bersangkutan serta kepekaannya dalam melihat keadaan masyarakatnya. Peranan yang harus dimiliki seorang santri dalam proses pendidikannya, dan selanjutnya diharapkan menjadi bekal yang berguna dalam kehidupan santri yang bersangkutan kelak di masyarakat.


Dalam upaya membangun masyarakat yang maju dalam konteks globalisasi yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat harus bersikap kooperatif terhadap perkembangan tersebut. Namun karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kerusakan moral dan dekadensi akhlak, pondok pesantren lebih hati-hati dan bersikap lamban dalam mengikuti arus globalisasi. Karena salah satu tugas dan tanggung jawab pondok pesantren adalah pembinaan moral.
Selama ini, materi yang diajarkan di pondok pesantren hanya terbatas pada ilmu agama, sedangkan ketika santri kembali ke masyarakat mereka tidak hanya membutuhkan pengetahuan agama tetapi juga pengetahuan umum dan keterampilan. Untuk itu, materi pendidikan pondok pesantren harus memiliki orientasi yang berbeda dengan memberikan penambahan materi tentang keterampilan. Idealnya ada 3 ”H” yang harus dididikkan kepada para santri, pertama, head kepala. Artinya, mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan. Kedua, heart hati. Artinya, mengisi hati santri dengan iman dan takwa. Ketiga, hand tangan. Artinya kemampuan bekerja. Tiga ”H” tersebut dapat dilakukan dengan rekonseptualisasi kurikulum secara sistematis. Langkah-langkah sistematis yang dapat dilakukan dan dikembangkan pondok pesantren dalam menjawab tantangan globalisasi adalah penataran kurikulum, proses pembelajaran yang baik, pembentukan karekter, pembentukan manusia religius dan akhlak, pembentukan manusia sebagai makhluk sosial, dan pembentukan watak bekerja.
Pesantren di era globalisasi adalah pesantren yang bisa memodifikasi antara kebutuhan masyarakat dengan tujuan pesantren sebagai lembaga pembinaan dan pemberdayaan umat. Tentunya, untuk mewujudkan hal ini, pesantren harus bertolak pada paradigma yang digunakan dan melakukan pembaharuan terhadap kekurangan-kekurangannya. Menurut Ahmad Tafsir, dalam Islam ada tiga paradigma besar pengetahuan. Pertama, paradigma sains, pengetahuan yang diperoleh akal dan Indera seperti Fiqh; kedua, paradigma logis yaitu pengetahuan dengan objek yang abstrak seperti filsafat; dan ketiga, paradigma mistik yang diperoleh dengan rasa. Selama ini pondok pesantren hanya membekali santri paradigma yang pertama dan yang ketiga. Sementara paradigma yang kedua kurang tersentuh. Untuk itu, pondok pesantren masa kini idealnya harus memasukkan paradigma yang kedua, yaitu paradigma logis, agar semua pengetahuan dapat dibekalkan kepada seluruh peserta didik.
Meminjam bahasa Daulay, ciri-ciri pesantren masa depan ada 3, yaitu: ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi, kompetitif, moral dan pluralisme.0 Pondok pesantren modern idealnya bersikap aktif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, menyuburkan daya saing, tetapi tetap mampu mempertahankan pembinaan moral yang selama ini dianggap prestasi besar pondok pesantren. Kalau konsep ini bisa dilakukan dengan baik, pesantren akan semakin tumbuh mengakar kuat dan kredibilitasnya semakin naik di tengah-tengah masyarakat.









Memang, secara historis bahwa ilmu menang atas agama apabila tuntutan-tuntutan keduanya mengenai realitas empiris bertentangan. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa ilmu dapat menggantikan agama sebagai cara memahami semua aspek eksistensi manusia. Oleh karena itu, agama memegang dan akan tetap memegang kontrol eksklusif atas dunia pemahaman manusia yang secara total tidak dapat didekati oleh ilmu.
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan generasi muda yang menggabungkan etika, moral dan agama, sehingga berperan dalam mencetak generasi muda yang berakhlak mulia. Memberikan sumbangan sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan dalam masyarakat tersebut.




    
Jamaluddin, M. 2012. Metamorfosis Pesantren Di Era Globalisasi. Journal of Social and Islamic Culture, No. 1, 128-137.
Mahmud, & I. S. 2012. Antropologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom.2006.Intelektualisme Pesantren, hal.1.Jakarta: Diva Pustaka. Link: http://ricky-diah.blogspot.com/2011/04/sosiologi-agama-peran-pesantren.html

Haedari, H.Amin. 2007.Transformasi Peasntren. hal.3.Jakarta: Media Nusantara.
Wahab, Rochidin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.hal.153,154. Bandung: Alfabeta,CV.


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
o
:p
p
:-s
m
8-)
:-t
:-b
b-(
$-)
y
x-)
k
 

Start typing and press Enter to search